Menaruh harapan di tempat yang salah adalah awal mula keruntuhan.
Yang
bisa diandalkan tentu tak pergi, tidak terhubung jauh artinya dari menghilang.
Paham belum tentu diraih karena sering bicara.
Makna
menumpuk di hulu telinga lantaran terlalu sering bertukar kata,. Sementara
hilir lisan kerap menjerat buah pikir setengah tanggung, kemudian
menghanyutkannya ke jurang basa-basi.
Pola
serupa berulang terus; ya, tidak, bukan, itu, maksud, saya?
Bahasa
dikerangkeng bak tahanan politik, disuapi makna hingga bibirnya dihinggapi
lalat. Bagai memerlakukan pohon seperti bayi.
Ini
bukan silap lidah.
Buahnya
akan tumbuh walau dihampiri codot tiap petang. Namun, anak yang gagal disapih
tak hanya merepotkan, juga akan mengecewakan.
Namun,
jangan dulu salah kita timpakan pada bibit, tahu apa dia soal urusan orang
dewasa? Bukankah agen rasional seharusnya tahu persis cara paling cepat
berlindung di bawah bayang pohon rindang adalah dengan membantunya tumbuh?
Perkaranya
datang ketika tunas dianggap ringkih, saat kemarau bertamu dan menggiringnya
pada kekeringan. Kekuatannya dipaksa bercermin dari sekeras apa ia bertahan.
Ketika penghujan habis nanti-nanti, ia diawasi sepanjang kala, khawatir belum
sanggup belajar tenggelam.
Jika
begitu maka masalahnya adalah kita. Bagaimana cara menyelesaikannya?
Jawaban
vulgar tentu menunjuk hidung kembar siam tragedi dan komedi. Jawaban lain butuh
mengeruk pengalaman, yang belum tentu dipunya sepasang mata.
Kerapuhan
kita, tak sama dengan kerapuhan bahasa. Ringkihnya kaki kita, berbeda dengan
akar mereka. Lebah bukanlah kebun. Virus berlainan dari inang.
Sampai
akhirnya di pucuk tahun waktu menyesal datang juga. Di masa ini kita berharap,
menguburnya dalam-dalam agar tumbuh lebih kuat dan berguna.
Kali
ini, kita harus menanamnya di tempat yang tepat.
Contents
1. Teritorial Mati
2. Physics of i
3. Demam Ketakutan
4. the Art of separation
5. On Desire and Other Misplaced Things
6. Kondisi
7. Kembali Berangkat Kerja
Click here to download Construct #14.